Sepenggal Perjalanan Hidup

Nama Lengkap: Dasman Djamaluddin
Tempat/Tgl. Lahir: Jambi/ 22 September 1955
Kontak/Email: +62 815-8491-2832
Pendidikan Terakhir: S2 Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia (2007)
Aktivitas: Jurnalis, editor, sejarawan, penulis biografi
 70 Tahun Achmad Tirtosudiro “ (1992).
 Butir-Butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati 
Zaman (1992).
 Gunawan Satari, Pejuang, Pendidik dan Ilmuwan (1994)
 Jenderal TNI Anunerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (1998)
 Golkar sebagai Partai Alternatif (2003).
 Catatan Rais Abin, Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah, 
1976-1979 (2012).
 Catatan B.M Diah, Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya 
Proklanasi 17-8-’45 (2018)
 Saddam Hussein Menghalau Tantangan (1998)

Sepenggal Perjalanan Hidup

Tanggal 22 September 2024, usia saya sudah 69 tahun. Tahun 2023 lalu, Majalah Elipsis memuat profil saya. Majalah ini beredar dengan isi 100 halaman. Saya hanya mengutip tentang pribadi saya sendiri ketika berkunjung ke Irak dua kali, tahun 1992 dan 2014:
Sebelumnya saya menuju Moskow, dulu tahun 1992 ibu kota dari Uni Soviet. Sekarang bernama Rusia.

Dari: https://theglobal-review.com/penghargaan-rakyat- rusia-atas-sejarah/

Dasman Djamaluddin, Excutive Director Institute of Research of 11 March Order History

Sebuah majalah perjalanan Traveller, edisi Januari 2016 menarik perhatian saya. Cover majalah tersebut berjudul “Moskow Kini”, menginspirasi saya untuk menulis perjalanan saya ke negara yang diberi julukan berbagai nama, Beruang Merah dan Tirai Besi

Jika di majalah tersebut penulisnya Jeffrey Tayler mengisahkan perjalanannya dengan baik, memang demikianlah situasi dan kondisi kota Moskow sekarang ini. Apalagi penulisnya  telah menetap selama 22 tahun  di Moskow. Hal itu sudah tentu  berbeda dengan saya yang hanya pada bulan Desember 1992 itu saja ke Moskow. Tetapi meskipun demikian, banyak hal yang kita lihat dan pelajari dari kota Moskow, yaitu bangsa Rusia menjadikan sejarah sebagai ujung tombak  perjalanan bangsanya, sehingga bisa maju.

Tanggal 22 Desember 1992 itu, udara kota Moskow  sangat dingin. Salju mulai turun. Saya hadir di sana saat-saat negara itu sedang dalam peralihan. Mikhail Gorbachev yang disebut-sebut sebagai tokoh pembaruan Uni Soviet (nama Rusia waktu itu), ketika itu tidak lagi berada di kantornya. Peralihan kekuasaan  secara damai sedang berlangsung di sana. 

Sudah tentu keadaan masyarakat juga sedikit terganggu. Ada di antara mereka acuh tak acuh dengan pembaruan yang dikumandangkan Gorbachev. Yang jelas, sejak dikumandangkannya pembaruan di Uni Soviet, rakyat terjebak ke arah perbedaan pendapat. Di berbagai kota di Moskow, saya menyaksikan dari dekat banyaknya para pengemis dan kaki lima-kaki lima penjual pakaian bekas. Menyedihkan.

Waktu itu, memang Gorbachev, pembaharu dan penganut Lenin yang setia mengumandangkan kosep Perestroika, dan merumuskan prinsip dasar-dasarnya. Pada akhirnya, rakyat Uni Soviet tidak memahami apa yang dilakukannya. Ia pun mengundurkan diri sebagai presiden pada Desember 1991. Banyak yang mengatakan bahwa ia mengundurkan diri karena masalah kesehatan. Gorbachev kemudian  digantikan oleh Yeltsin. Jadi kepergian saya  ke  Uni Soviet, berada di bawah kepemimpinan  Yeltsin.  

Akhirnya Yeltsin pada tanggal 31 Desember 1999, di bawah tekanan internal yang besar,  pun mengumumkan pengunduran dirinya, meninggalkan kursi kepresidenan dan menyerahkan pimpinan Rusia ke tangan Perdana Menteri Vladimir Putin .

Terpulihnya Putin sangat tepat bagi Rusia. Mikhail Gorbachev ketika bertemu dengan Putin pada bulan Agustus 2000 memastikan dia tidak akan merusak Demokrasi Rusia. Begitu pula Boris Yeltsin menyatakan Putin kepada seluruh rakyat Rusia bahwa “Dia dapat mengulangi kejayaan Rusia yang baru pada abad 21”.

Kembali ke kisah perjalanan saya.Tiga malam, saya di Moskow dan menginap di rumah koresponden Harian Merdeka, Svet Zakharov, warga negara Rusia yang fasih berbahasa Indonesia. Hari Minggu, 13 Desember 1992, saya  dengan diantar Svet Zakharov ke Bandara Moskow. 

Udara dingin disertai salju yang turun tidak mematahkan semangat saya menuju Baghdad, ibu kota Irak. Saya ke Baghdad dulu dan kemudian kembali lagi ke Moskow. Itulah rute perjalanan yang telah digariskan  atas kerja sama Harian Merdeka dengan Perusahaan Penerbangan Uni Soviet, Aeroflot.

Sebagai catatan,  perusahaan penerbangan Uni Soviet (Rusia) Aeroflot ini tidak lama bertahan di Indonesia, karena tahun 1980, Bakin dipimpin Jenderal L.B.Moerdani berhasil membekuk kegiatan agen intelijen Rusia yang sedang beraksi di Indonesia. Agen Intelijen Rusia (KGB) itu bernama  Alexander  Pavlovichu Finenko (36 tahun) yang juga manajer perwakilan Perusahaan Penerbangan Aeroflot yang beroperasi di Indonesia. Perusahan penerbangan itu ditutup.

Setelah dari Baghdad,  saya kembali menuju  Moskow.  Kali ini Svet Zakharov  mengantar saya berjalan-jalan ke Katedral Saint Basil yang terletak di Lapangan Merah. Lapangan Merah di sini bukan berarati merah dalam arti kata sebenarnya, tetapi mengacu kepada “merah” dalam bahasa Rusia yaitu  indah.

Memang Katedral Saint Basil ini indah sekali. Lihatlah arsitek bangunannya. Menara-menara kathedral ini memiliki karakter yang unik. Dibangun saat Ivan the Terrible berkuasa pada abad ke-15. Menurut  Svet Zakharov yang selalu setia mendampingi selama di Moskow, arsiteknya , Postnik Yakoviev, sengaja dibutakan atas perintah Ivan  untuk mencegah dia membangun kathedral yang lebih indah dari Saint Basil. 

Kathedral ini juga melambangkan keberhasilan Ivan melawan Tartar Mongolia pada tahun 1552 dalam pengepungan kota Kazan. Di masa Kekaisaran Perancis, Napoleon  menyerbu Rusia dan menguasai Moskow pada tahun 1812, ia pernah memerintahkan agar katedral tersebut dipindahkan ke Paris, tetapi tidak ada teknolgi yang memadai untuk memindahkannya. Diambil jalan pintas dengan meledakkan pakai mesiu.Keinginan Napoleon tidak tercapai, karena hujan turun.
Saya sangat kagum melihat peninggalan sejarah Rusia yang ada di dalam Kathedral Saint Basil. 

Hal ini menunjukkan betapa pemerintah Rusia dan warganya sangat mencintai sejarah.  Saya berangan-angan,  suatu ketika bangsa Indonesia pun memiliki tempat khusus seperti di Rusia—tidak terpencar-pencar sebagaimana museum sekarang ini—sehingga rakyat pun bisa melihat kejayaan bangsanya di satu tempat.

Bayangkan, Lapangan Merah ini panjangnya 695  meter dan lebar 130 meter. Di sini selalu diselenggarakan parade militer dan perayaan lainnya. Di sini juga ada makam Lenin, persis di depan  benteng Kremlin. Tubuh Vladimir Lenin itu sudah dibalsem dan dapat dilihat publik. Setiap tanggal 21 Januari,  persis kemarin,  makam ini banyak didatangi orang  yang mengirimkan rangkaian bunga.

Di sebelah tubuh Lenin ada juga tubuh  Josep Stalin  yang meninggal pada 31 Desember 1953.Kembali saya berangan-angan, suatu ketika makam Presiden RI Soekarno dan Bung Hatta dijadikan satu tempat. Persis sebagaimana Rusia dulu mempersiapkan momen-momen bersejarah di satu tempat. Entahlah, apakah hal ini bisa menjadi kenyataan atau hasil renungan saya saja setelah dari Moskow.

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Tritura ke-58, Bomer Pasaribu, Akbar Tanjung dan Golkar

Ibnu Sutowo dan Pontjo Sutowo yang Saya Kenal