Apa Kabar Bang Akbar ?

Apa Kabar Bang Akbar ?
Sudah lama saya tidak bertemu lagi Bang Akbar. Hanya sekali, saya bertatap muka empat mata. Setelah itu, saya hanya mendengar informasi melalu media massa dan berbagai sumber berita  lainnya.

Foto-foto dari berbagai sumber.

Nama lengkapnya, Dr. Ir. Djandji Akbar Zahiruddin Tandjung, lebih sering disebut Akbar Tandjung. Ia adalah seorang politikus Indonesia yang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari 1999 hingga 2004.  Lahir 14 Agustus 1945 (usia sekarang 78 tahun) di Kabupaten Tapanuli Tengah

Golongan Karya, dulu semasa Presiden Soeharto berkuasa enggan memakai imbuhan Partai. Jadi cukup Golongan Karya saja.

Pada 21 Mei 1998, Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Sudah tentu Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.

Di era Reformasi,  pada 7 Maret 1999 Golkar mendeklarasikan diri sebagai Golkar “baru,” di bawah Ketua Umumnya, Ir.Akbar Tandjung. Di Pemilihan Umum, Juni 1999, Golkar sudah memakai imbuhan Partai. Lengkapnya Partai Golkar. Pada waktu ini masih meraih suara kedua, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Partai Golkar terus berbenah diri. Ketua Umumnya silih berganti, dari Akbar Tandjung ke Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.  Sepertinya baru sekarang ini, Partai Golkar menghadapi dilema. Pencalonan Aburizal Bakrie sebagai Presiden RI waktu itu, mengundang kritikan-kritikan tajam, terutama dari Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Elektabilitas Aburizal tidak pernah mampu menandingi calon-calon Presiden RI lainnya. Ada himbauan agar Aburizal mundur saja dari pencalonan dan menggantinya dengan kader-kader Golkar yang lain.

Di detik-detik terakhir, Aburizal masih tetap ngotot menjadi Calon Presiden RI.  Bahkan hingga Rapimnas Golkar terakhir, ada kalimat yang seakan-akan mengatakan, Aburizal adalah satu-satunya wakil sah yang diusung partai berlambang beringin itu untuk menjadi Calon Presiden atau  Calon Wakil Presiden RI. Jika ada kader-kader Golkar yang mendukung calon lain selain Aburizal Bakrie, maka silahkan mengundurkan diri dari jabatan strukturalnya. Faktanya, bisa kita saksikan banyak yang mengundurkan diri.

Di calon partai lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkembang pula gerak cepat dinamika partai. PDI-P memilih Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi Calon Wakil Presiden RI mendampingi Joko Widodo. Sepertinya Partai Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie salah tingkah. Mereka menerima jabatan setingkat Menteri dan tidak lagi mendesak jabatan Wakil Presiden atau Presiden, karena posisi itu sudah diisi partai-partai yang berkoalisi lebih dulu. Akhirnya Partai Golkar berlabuh ke Calon Presiden Prabowo.

Memang ada persoalan , mengapa Partai Golkar secara resmi mendukung Gerindra yang jelas jelas Calon Presiden dan Wakil Presidennya berasal dari partai lain. Sementara PDI-P mengusung Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Golkar  sebagai Calon Wakil Presiden RI ? Nah, boleh jadi jika nantinya Aburizal Bakrie suatu ketika tidak menjabat Ketua Umum Partai Golkar menjadi Calon Presiden atau Wakil Presiden, boleh saja kader Golkar yang resmi pun tidak wajib mendukungnya. 
Kalau demikian, apa yang terjadi waktu itu di Partai Golkar. Sudah tidak adakah rasa soliditas dan solidaritas di antara sesama kader? Kalaulah bisa disebut politik dua kaki, tetapi tidak eloklah melakukan hal demikian. Kecuali kalau Jusuf Kalla bertarung bukan sebagai Calon Wakil Presiden RI.

Inilah yang banyak disesalkan kader-kader Golkar lainnya. Jika semua kader Golkar yang mendukung Jusuf Kalla di PDI-P diwajibkan melepas jabatan strukturalnya, tetapi tidak mungkinlah terhadap Jusuf Kalla. Ia  tumbuh dengan sendirinya sebagai kader Golkar yang berhasil. Bagi Jusuf Kalla dengan mengunjungi kediaman Suhardiman, pendiri Partai Golkar dan Soksi, di Cipete, Jakarta Selatan waktu itu,  secara tidak langsung memberikan contoh, beginilah seharausnya kader Golkar berbuat

Di masa Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, Golkar memperoleh hak istimewanya. Di masa ini, seorang Presiden memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI), dia adalah Kepala Eksekutif dan sangat kontroversial, dia juga adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Sementara kedua partai politik lainnya, masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) seakan-akan terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memang kalimat “seakan-akan” memberi arti bahwa tidak terlalu terlihat apa yang dilakukan oleh Presiden. Jika ada acara-acara ketiga partai tersebut, Presiden selalu menghadiri acara Golkar.Tetapi kalau berlangsung acara dua Partai Politik lainnya, yang hadir cukup wakil yang ditunjuk oleh Presiden. Pada waktu ini, tidak ada kata kalah dalam kamus Golkar jika sedang melaksanakan Pemilihan Umum. Golkar selalu menang.

Tetapi pada 21 Mei 1998, Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Sudah tentu Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.

Keinginan membubarkan Golkar  ini bukan hanya datang dari sebahagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara di masanya, sebut saja Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur memaklumkan di poin ke-3nya untuk membekukan Golkar dengan dalih untuk menyelematkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur Orde Baru. Akhirnya sejarah berkata lain, keinginan untuk membekukan Golkar ditolak Mahkamah Agung.

Biografi Akbar Tandjung
Pria kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, 14 Agustus 1945 ini adalah anak dari pasangan Zahiruddin Tandjung dan Siti Kasmijah. Akbar lahir dari keluarga besar, ia merupakan anak ke 13 dari 16 bersaudara, empat dari saudara Akbar meninggal sebelum mereka tumbuh dewasa.

Akbar Tandjung bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah. Ia tinggal bersama dengan tantenya. Setelah itu, ia pindah sekolah ke SR Nasrani di daerah Sibolga. Walaupun dia bersekolah di tempat non Islam, Akbar tetap mendapatkan pendidikan Islam dari orang tuanya dan sekolah madrasah.

Saat sekolah menengah, Akbar sempat sekolah di Medan, namun setelah itu hijrah ke Jakarta, Akbar pun pindah ke SMP Perguruan Cikini. Setelah lulus dari SMP, ia melanjutkan ke SMA Kanisius. Setelah lulus SMA tahun 1964, Akbar meneruskan ke Universitas Indonesia (UI) Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Elektro dan berhasil menggondol gelar insinyur.

Sejak kuliah, Akbar sudah terlibat aktif di organisasi kemahasiswaan. Akbar Tandjung bergabung dengan organisasi Himpunanan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menduduki posisi tertinggi sebagai Ketua Umum PB HMI pada periode 1972-1974. Akbar juga aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Setelah KAMI bubar, akhirnya dibentuk Laskar Ampera Arief Rachman Hakim.  Pada tahun 1973, ia juga ikut mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), bahkan  ia menduduki posisi sebagai Ketua Umum DPP KNPI periode tahun 1978-1981.

Karier politiknya, Akbar memilih bergabung dengan Partai Golkar, organisasi penguasa saat Orde Baru berkuasa. Dia mulai aktif pada tahun 1974-an. Akbar juga menjadi anggota DPR RI mewakil Provinsi Jawa Timur periode 1977 -1988.

Setelah itu, dia diminta oleh Presiden Soeharto untuk menjadi menteri. Akbar Tandjung beberapa kali menjadi menteri. Dia dipercaya menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga (1988-1993), Menteri Negara Perumahan Rakyat (1993-1998), Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemukiman (1998).

Saat rezim Orde Baru runtuh, dia ditunjuk oleh Presiden BJ. Habibie, yang menggantikan Soeharto, menjadi  Menteri Sekretaris Negara, Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999)

Bersamaan lahirnya Era Reformasi, pemilu secara demokratis digelar pertama kalinya,  Akbar berhasil membawa Partai Golkar selamat dari ancaman pembubaran dari rezim Reformasi dan berhasil ikut pemilu 1999. Akbar yang saat itu menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar terpilih sebagai anggota DPR sekaligus menjadi Ketua DPR RI periode 1999-2004.

Setelah itu, Akbar memilih konsisten tetap di Partai Golkar, meskipun dia tidak terpilih kembali untuk periode 2004-2009 yang dimenangi Jusuf Kalla waktu itu. Pada periode berikutnya, ia menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar saat kepemimpinan Aburizal Bakrie periode 2009-2014.

Pada pengurus Golkar berikutnya, ia kembali menjadi ketua dewan pembina DPP Golkar periode 2014-2016 dibawah pimpinan yang sama dari hasil munas Bali. Karena kisruh Golkar belum juga selesai antara kelompok Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, maka digelar Munaslub.

Pasca Munaslub Golkar di Bali pada 2016, gabungan Golkar Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, Akbar Tandjung tetap bergabung dengan Golkar. Dalam kepemimpinan Setya Novanto, ia diminta menjadi wakil ketua Dewan Kehormatan Golkar mendampingi B.J Habibie untuk periode 2016-2019.

Postingan populer dari blog ini

Sepenggal Perjalanan Hidup

Hari Ini 23 Juli 2024, 79 Tahun Ibu Sasmiyarsi Sasmoyo (Ibu Mimis Aristides Katoppo)

SENGKETA PWI, APA TIDAK MUNGKIN DISELESAIKAN KARENA ADA DUGAAN UNSUR "KORUPSI" ?