Buku Saya dan Akbar Tandjung



Baru saja kita menyaksikan Forum Aktivis Nasional (FAN) memberikan penghormatan kepada politikus senior Golkar Akbar Tandjung sebagai Maestro Aktivis Indonesia. Akbar Tandjung dinilai sebagai tokoh RI yang memiliki pengaruh dalam pemikiran demokrasi menjelang dan pascareformasi.

Penghargaan itu diberikan kepada Akbar dalam acara bertajuk 'Tribute to Bang Akbar Tandjung Maestro Aktivis Indonesia' di Gedung Nusantara IV DPR, Senayan Jakarta, Minggu, 19 Mei 2024. Hadir dalam acara, yakni Ketua MPR yang juga Waketum Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet), Ketua Komisi II DPR RI sekaligus Waketum Golkar Ahmad Doli Kurnia, mantan anggota DPR dan Ketum PKN Anas Urbaningrum hingga Dewan Penasehat FAN Maruarar Sirait.

Ketua Umum (Ketum) FAN, Bursah Zarnubi, menjelaskan pertimbangan pihaknya menyematkan penghormatan kepada Akbar Tandjung. Ia mengulas bagaimana peran Akbar Tandjung mendirikan Kelompok Cipayung.

Mengapa Saya Memanggil Bang ?

Pertama, karena saya aktivis Himpunan Mahasisswa Islam (HMI) Cabang Jayapura ketika menuntut ilmu di Universitas Negeri Cenderawasih, Abepura, Papua sebagai Sekretaris I dan Ketua Umum Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI) dan ketika pindah ke Univeesitas Andalas, Padang, Sumbar sebagai Ketua Umum LHMI.

Kedua, pendiri HMI, kita kenal adalah Bang Lafran Pane, asal Medan. Sebutan "Abang " merupakan panggilan sehari-hari kepada orang lebih tua dari kita.

Kembali ke masalah buku yang saya edit, buku ini memperoleh sambutan dari Bang Akbar. Dari mana saya tahu? Ketika saya bertemu beliau setelah buku ini selesai diterbitkan, ucapan terimakasih diungkapkan kepada saya.
Bahkan buku ini dimasukan dalam Daftar Bacaan Disertasi Bang Akbar, yang kini telah dibukukan berjudul: "The Golkar Way."

Saya menulis di dalam: " Pengantar Editor," di buku: "Golkar sebagai Partai Alternatif.":
" Masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun menimbulkan luka mendalam bagi Partai Golongan Karya (Golkar). Kenapa tidak, karena selama 32 tahun, yang kita enggan disebut partai, identik dengan Presiden Soeharto.

Di masa Soeharto, seorang Presiden memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI), dia adalah Kepala Eksekutif dan sangat kontroversial, dia juga adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Sementara kedua partai politik lainnya, masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) seakan-akan terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan. Keinginan terakhir ini bukan hanya datang dari sebahagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara, sebut saja Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur memaklumkan di poin ke-3 nya untuk membekukan dengan dalih untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru. Padahal dalam pemilihan umum, Juni 1999, Partai Golkar berhasil meraih kemenangan kedua di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan meraih jumlah suara 23.742 jta juwa atau 22,46 persen. Akhirnya sejarah membuktikan bahwa keinginan untuk membekukan Golkar ditolak Mahkamah Agung (MA).

Sebetulnya, pada waktu itu juga, Golkar telah memasuki era baru. Golkar telah merubah citranya menjadi Golkar "baru" yaPertamang dideklarasikan pada tanggal 7 Maret 1999, yang antara lain menyatakan:

Pertama, Golkar telah melakukan koreksi yang terencana, melembaga dan berkesinambungan terhadap penyimpangan yang terjadi di masa lalu.

Kedua, Golkar telah berpaya mengambil tindakan tegas terhadap KKN.

Ketiga, Golkar telah menyatakan diri sebagai partai yang mengakar dan responsive serta senantiasa peka dan tanggap terhadap aspirasi dan kepentikan rakyat.

Keempat, Golkar akan memperjuangan aspirasi kepentingan rakyat, sehingga menjadi kebijakan politik yang bersifat publik; dan

Kelima,  Golkar akan mempelopori tegaknya kehidupan politik yang demokratis dan terbuka (transparan).

Itulah janji-janji Golkar "baru" yang berkeinginan mengubah citranya yang terlanjur jelek di masa Orde Baru. Tetapi cobaan demi cobaan terus menimpa partai politik terbesar dan berpengaruh di Indonesia ini. Sekarang bukan Partai Golkar saja yang digoyang, tetapi ketua umumnya Ir. Akbar Tandjung ikut kena imbas. Dia dituduh menyalahgunakan dana non bujeter Bulog Rp. 40 miliar.

Bagian pertama buku ini berjudul "Akbar Dituntut, Akbar Bertahan," oleh tiga orang pengamat hukun, yakni Prof. Andi Hamzah,S.H., yang berbicara pada sebuah diskusi mahasiswa se-Jabotabek tgl. 10 Oktober 2002 di Universitas Islam Assyafi'iah, Jakarta.

Bagian kedua buku ini berjudul " Golkar sebagai Partai Alternatif," berisi gambaran pemikiran Golkar di masa depan dari sejumlah pengamat politik, yang kami pilih dari sejumlah kolom media massa ketika berulang tahun 20 Oktober 2002 lalu.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, dengan ini saya bersama tim menyusun buku ini, semoga dapat memperkaya khazanah kepustakaan dalam bidang hukum, terutama Hukum Tata Negara.

Akhirnya kepada Bapak Prof. Abdul Bari Azed,S.H.,M.H, kami sampaikan penghargaan dan terima kasih atas dukungan morilnya, ketika menyelesaikan buku ini."

Jakarta, Oktober 2003

Dasman Djamaluddin,S.H.



 


Postingan populer dari blog ini

Sepenggal Perjalanan Hidup

Mengenang Tritura ke-58, Bomer Pasaribu, Akbar Tanjung dan Golkar

Ibnu Sutowo dan Pontjo Sutowo yang Saya Kenal